Beranda | Artikel
Sifat Puasa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
Minggu, 31 Oktober 2004

HADITS-HADITS DHAIF YANG TERSEBAR SEPUTAR BULAN RAMADHAN

Oleh
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan :

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta’wilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.

Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.

Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits : “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat …” [Riwayat Bukhari 6/361], dan sabda beliau : “Agama itu nasehat” [Riwayat Muslim no. 55]

Maka kami katakan wabillahi taufik :
Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak-yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif.

Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan : “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya”.

Jadikanlah Imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup kita).

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya.

Pertama.

لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَنَا السَّنَّةَ كُلَّهَا، إِنَّ الْجَنَّةَ لَتُزَيَّنَ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ

Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ….” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.

Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”.

Kedua.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَةٍ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ …. وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِّنَ النَّارِ

Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain …. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka .…” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in. Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].

Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar

Ketiga.

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas. Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma’ul Bahrain) dan Abu Nu’aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah.

Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al-Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu”. Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia”. Al-Ajalaiy berkata. “Hadits ini tidak membuatku kagum”, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).

Aku katakan : Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

Keempat

مَنْ أَفطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh“. Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu’allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad.

Ibnu Khuzaimah telah memalukan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At-Tirmidzi (723), Abu Dawud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa’i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada Tuhfatul Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajjar dalam Taghliqut Ta’liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (4/161) : “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit : idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah”.

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya :Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga:.

Wa ba’du : Inilah empat hadits yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya : “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar”.

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1159-hadits-hadits-dhaif-yang-tersebar-seputar-bulan-ramadhan.html